Pelecehan Seksual di Bus, Pegiat Gender, dan “Kenyamanan Sejati”

Apa pendapat Anda jika ada ide untuk memisahkan penumpang laki-laki dan penumpang perempuan di angkutan umum, semacam bus dan kereta api? Saya yakin jawabannya beragam. Tapi jika pertanyaan ini benar-benar dilontarkan ke aktivis gender, saya yakin akan tertawa terbahak-bahak. “Ide konyol!”, mungkin demikian bilang mereka.

Isitilah memisahkan dan membedakan perlakuan pria-wanita adalah istilah-istilah yang paling mereka musuhi.  Persamaan hak, itulah tema perjuangan mereka. Menyamakan apa saja.  Karenanya ide memisahkan penumpang laki-laki dan perempuan bisa ditebak akan mendapat pertentangan dari para aktivis ini. Seperti yang pernah dilakukanRieke “Oneng” Diah Pitaloka yang menolak gagasan memisahkan penumpang laki-laki dan perempuan[1].

* * *

Belakangan cukup ramai diinternet dan sempat beberapa kali muncul di teve kasus pelecehan seksual di Bus TransJ.

“Saat antri, dia megang-megang pantat. Lalu menggesek-gesekkan alat kelamin ke pantatku,” ujar Foni usai membuat laporan ke Polres Jaksel, Jalan Wijaya II, Jakarta Selatan, Sabtu, (5/6/2010).

Tak hanya itu, ketika Foni naik bus, Anton masih mengikuti. Lantas di dalam bus, Anton duduknya memepet Foni. Lantas tangannya pegang-pegang paha hingga daerah kewanitaan Foni. “Saya sudah memukul tangannya. Tapi dia terus megang-megang. Lalu saya teriak ketika bus masuk halte Dukuh Atas,” bebernya [2].

Begitulah cerita naas yang dituturkan Foni (31) terhadap apa yang menimpanya. Pelakunya sendiri adalah Anton Susanto (32). Belakangan Anton bebas melenggang, karena tak bisa dipolisikan. Cukup mengejutkan bagi saya ternyata cerita sejenis banyak dialami para penumpang wanita di angkutan-angkutan umum.

* * *

Dilecehkan, apalagi secara seksual, tentu sangat tidak mengenakkan. Menjadi masalah yang besar, bahkan bisa-bisa akan menjadi trauma. Tentu masalah ini harus diatasi. Lalu apa solusinya?

Ada yang mengusulkan agar kepadatan penumpang dalam angkutan umum dikurangi. Kapasitas muatnya diturunkan. Agar dempet-dempetan tidak terjadi yang bisa mendorong peluang meraba (melecehkan) penumpang lain tidak terjadi. Impossible memang, karena melawan prinsip dasar ekonomi (kapitalis). Tentu pengusaha angkutan malah menginginkan muatan yang sebanyak-banyaknya. Bertambah impossible dan terkesan sia-sia lantaran ternyata penyakit kelainan (frotteurism) ini tak mengenal “kerapatan”-tidaknya penumpang. Malah kecenderungannya jika penumpangnya jarang dia malah berani. Seperti yang dialami Foni di atas. Apalagi kalau cuman berdua-duaan.

Muncul juga ide untuk memisahkan angkutan berdasarkan gender. Ada angkutan untuk perempuan dan ada angkutan untuk laki-laki. Secara prinsip ekonomi tidak terlalu mengganggu karena “kerapatan” tetap tak berubah. Ganjalannya mungkin bagi penumpang yang rombongan akan merasa sedikit ribet. Satu keluarga mungkin akan terpisah di dua angkutan umum yang berbeda. Anak laki-laki terpisah dengan ibunya dan bergabung bersama bapaknya. Tapi bukankah hal ini sudah biasa tatkala satu keluarga sholat berjamaah di masjid? Atau ketika ke toilet umum (anak laki-laki ditemani bapaknya, bukan ibunya, untuk pergi ke toilet pria)? Tapi untuk ketenangan tidak dikejar-kejar frotteurism pasti lebih besar peluangnya ketimbang opsi pertama di atas.

KTM Komuter (Keretapi Tanah Melayu) Khusu Perempuan (Sumber: eramuslim.com)

KTM Komuter (Keretapi Tanah Melayu) Khusu Perempuan (Sumber: eramuslim.com)

Hal ini juga akan merasa nyaman bagi wanita lain seperti mereka yang sedang menyusui, wanita yang terpaksa bergelantungan, dan lainnya.

Ide pemisahan angkutan inilah yang kini diterapkan Malaysia. Malaysia telah menyiapkan gerbong khusus untuk perempuan [3].

* * *

Melalui tulisan ini saya hanya ingin melawan rumus kaku kalangan liberal dan aktivis gender bahwa jika ingin memuliakan perempuan maka perempuan dan laki-laki itu harus disamakan, jangan dibedakan.

Penting diketahui bahwa untuk memuliakan perempuan kita tidak harus menyamaratakan mereka dengan kaum pria. Adakalanya justru membedakan perempuan malah memuliakan mereka. Membuat mereka nyaman dan tenang. []


[1] http://www.detiknews.com/read/2010/06/07/080410/1371074/10/oneng-tak-setuju-penumpang-pria-wanita-transj-dipisah

[2] http://www.detiknews.com/read/2010/06/05/184229/1370551/10/korban-usai-raba-raba-di-terminal-pelaku-pegang-paha-di-bus

[3] http://www.eramuslim.com/berita/dunia/malaysia-luncurkan-gerbong-kereta-khusus-untuk-wanita.htm

3 komentar di “Pelecehan Seksual di Bus, Pegiat Gender, dan “Kenyamanan Sejati”

    • Alhamdulillah ada yang setuju. Saya sempat mengira tulisan saya ini akan dikerubuti orang2 yang kontra.
      Bu Ummu Fajrul, semoga angkutan umum seperti ini segera ada. Amin…

  1. Insyaallah,semoga saudara2 muslimah bersatu utk perjuangkan agar kaum wanita terbebas dari pelecehan,krn selama ini kami paranoid naik angkutan umum,tdk ada perlindungan, siapa lg yg memuliakan wanita??? kalo bukan dari diri kita sendiri.

Tinggalkan komentar